Jalan Jalan Singkat di Purworejo

 
Dengan bahasa jawa alus “di desa ini tambal ban ya cuma ini, tp bapaknya lagi pergi paling besok”. lalu kami mendarat di tambal ban desa sebelah, juga dengan bahasa jawa alus “duh kalo udah jam 4 saya udah ga mau melayani” . pengen teriak asu tp ban bocor juga ga bakal self healing. 
 
Kemudian hujan turun. Berarti kami harus ngaso sebentar, untuk sekedar menarik napas. Klo malem mingguan ngegembel di pedalaman, lucu ga? Kepala suku nyamuk seolah memberi kode ke anak buahnya bahwa ada sasaran empuk 
 
Setelah membayar sedikit lebih banyak kepada orang yg bisa dan mau menolong kami, kamipun pulang lewat jalan dimana kami berangkat. Entah kenapa pemandangan terlihat lebih indah daripada ketika kami berangkat. Melewati tengah sawah yg baru saja ditanami oleh pemiliknya, atau mungkin oleh orang yg diberi upah pemiliknya.
 
Matahari yang sudah siap memasuki horison menyinari punggung kami. Beruntungnya kami, kami lewat disaat para bidadari turun dari kayangan, entah mau mandi atau hanya sekedar cuci muka. Pandangan mata kami dimanjakan dengan lukisannya si Agung yg konon adalah jembatan para bidadari tadi untuk turun ke bumi. Pelangi.
 
Tin, sebuah motor membunyikan belnya lalu menyalip kami. Ternyata si tukang tambal ban tadi. Mungkin dia mau ke kota untuk membeli makanan yg sedikit lebih enak karena hari ini mendapatkan kelebihan rejeki. Winner winner chicken dinner kalo kata bule.
Hamparan hijaunya padi, salah satu contoh karya seni, ciptaan tuhan lewat tangan pak tani.
Adzan maghrib menjadi backsound perjalanan kami, aku mempercepat laju motor yang lambat ini sambil berpikir, blusukan kemana lagi kita besok?
 
##
 
Matahari terik sekali hari ini, jam sudah menunjukan jam istirahat bagi orang yg sedang bekerja. Di jawa biasa disebut rolasan. Artinya istirahat jam rolas (dua belas).
 
Diskusi panjang itu dilaksanakan di teras rumah, ditemani backsound suara motor dipanasin, tapi sampai suara motor itu hilang karena mesin yang sudah panas mati, keputusan belum keluar. Kami berencana pergi ke air terjun, disini biasa disebut curug. Sebuah curug di kecamatan kemiri, purworejo.
Radhit sudah pernah bertamasya di curug itu, tapi itu bertahun yg lalu. Manusia emang tempatnya lupa, ya termasuk lupa jalan arah masuk ke curug. Wajar itu.
 
Ternyata niat kami terlalu besar. Kupikir, di kemiri aku punya banyak teman yg bisa disamperin buat ditanya. Kalo beruntung mungkin kita bisa diajak makan siang juga. Huehehe…
 
Panas matahari terasa menggigit kulit. apes, aku ga bawa jaket, juga jaket radit di jogja semua. Tp aku ga keilangan akal, kuambil sarung di mobil lalu kupakai untuk melindungi tanganku dari tajamnya gigitan matahari tengah hari.
Terlihat bodoh? Memang, ah tapikan aku memang sudah terbiasa terlihat bodoh. Seperti halnya ketika aku memakai sarung di bandara, daripada ribet nenteng nenteng sarung atau harus berjalan jauh ke mobil. Masa bodoh terlihat bodoh, yg penting aku ga direbetkan. Lagian lebih baik terlihat bodoh, karena orang bodoh biasanya lebih pintar maintenance teman sehingga punya lebih banyak teman.


Berangkat kami melewati sebuah desa bernama winong, desa yang terkenal dengan sate dan gule kambingnya yang melegenda itu,  ketika melewati sate winong aku hanya bisa dada ke kambing yang sudah menjadi sate dan gule. menarik sih, tapi bukan sekarang untuk melahap sate winong.
“Kata siapa di kemiri ada curug? Mitos itu!” Kata ilham, seorang sahabatku jaman sma yg emang asli kemiri.
“Ada kok, disitu lho, lewatnya sini sini sini” bapaknya ilham nimbrung sambil memberi arah arahan jalan. 
Ketika pamit, kami menolak roti yang ditawarin bapaknya ilham dengan alesan akan kami makan sepulangnya dari curug.
 
Walahyuuuung, ternyata setelah memarkir motor, kami masih harus berjalan cukup jauh dengan jalan yg cukup ekstrim. Dan menjadi lebih jauh karena pake acara kesasar.
Ketika dipersimpangan tanpa tanda dan tanpa ada makhkuk yg bisa ditanya, memilih jalan mana yg akan ditempuh itu sama susahnya dengan harus memilih a atau b yg dua duanya sama sama akan mencuri duit rakyat. Akhirnya golput. Akhirnya balik arah.
 
 Lumayan melelahkan memang, tiba tiba bayangan tentang roti yg ditawarin bapaknya ilham kebayang lagi. Bukankah sudah seharusnya kita nurut sama omongan orang tua, no? Kalo orang tua ngomong itu pasti banyak benernya dan ga mungkin menjerumuskan.
 
Akhirnya kami dapat menikmati indahnya air terjun itu, gemercik airpun tidak henti hentinya terdengar. Suara yg konon dapat membawa otak kita ke kondisi rileks, begitu menurut teori teori tentang hipnosis yang dikembangkan orang barat.
 
Kata orang sih kalo mau menikmati keindahan, selalu ada harga yg harus dibayar, lelah, sakit, kotor karena terjatuh sedikit banyak terbayar oleh indahnya pemandangan, salah satu lagi contoh kebesaranNya..
 
Setelah puas, kami pulang. tidak langsung pulang memang, sedikit muter muter dulu untuk hanya sekedar menikmati pemandangan alam. terkadang senyum manis gadis desa menjadi bonus yang kami dapat dalam perjalanan ini. di jalan pulang derasnya hujan memburu kami. tapi bukankah itu menjadi pelengkap sebuah perjalanan? itu mengingatkanku bahwa ga semua perjalanan itu ditemani oleh langit yang cerah.
 
sama Ilham.
Pulang kerja, kerbau langsung mandi. Kamu?
 
 
** tiba tiba jadi pengen nulis cerita setiap abis jalan jalan gara gara keinget perjalanan ke bima ga ditulis, dan ketika mulai lupa dengan kejadian kejadian kejadian seru yang dialamin.
 
follow twitter saya @arnodya

 

 

4 thoughts on “Jalan Jalan Singkat di Purworejo

Leave a comment